Ekonom dan pebisnis Mohamed El-Erian menilai, pernyataan yang menyatakan bahwa perekonomian China masih memiliki peluang untuk mencapai puncak mungkin harus dipertimbangkan kembali. Pernyataan tersebut dituangkan El-Erian di Financial Times.
Mengutip Business Insider, meskipun pertumbuhan pesat dalam beberapa dekade terakhir telah membantu China menjadi negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, pendekatan Beijing terhadap kemerosotan ekonomi saat ini telah mengurangi pandangan bahwa China akan menyalip Amerika Serikat.
“Sudah waktunya bagi pasar untuk menyadari bahwa China tidak kembali ke pedoman ekonomi dan keuangan lamanya. Dan kembalinya China sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi global yang kuat tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat,” tulis El-Erian.
“Kinerja ekonomi kemungkinan akan tetap lesu selama sisa tahun 2023 dan paruh pertama tahun 2024,” tambahnya lagi.
Setelah China mencabut pembatasan pandemi Covid-19 pada akhir tahun lalu, perekonomian mengalami pemulihan singkat pada awal tahun ini. Namun sejak saat itu, konsumsi, aktivitas industri, investasi, dan ekspor tampak mengecewakan. Sementara, angka pengangguran kaum muda mencapai rekor tertinggi dan harga-harga berada pada wilayah deflasi.
El-Erian berpendapat, meskipun para analis dan investor dengan lantang menyuarakan harapan bahwa pemerintah China akan menerapkan program stimulus skala besar untuk meningkatkan perekonomian dan mendorong belanja domestik, Beijing tidak mungkin melakukan hal tersebut dalam menghadapi masalah struktural yang lebih besar.
Hal ini karena strategi stimulus sebelumnya bertanggung jawab atas tingginya tingkat utang yang kini terjadi di pemerintah daerah China dan pasar properti yang tertatih-tatih. Sebagai gantinya, pihak berwenang di negara tersebut telah menerapkan serangkaian tindakan pada tingkat yang lebih kecil.
Para pemimpin juga kemungkinan besar tidak akan melakukan stimulus tradisional, karena khawatir bahwa ketergantungan terhadap stimulus tersebut akan meningkatkan kemungkinan China jatuh ke dalam perangkap negara berpendapatan menengah dan juga mendorong korupsi.
Sebaliknya, ia memperkirakan Beijing kemungkinan akan melanjutkan langkah-langkah pada tingkat yang lebih kecil, sambil berupaya melakukan transisi menuju industri-industri baru yang sedang berkembang, seperti energi ramah lingkungan, layanan kesehatan, superkomputer, dan kecerdasan buatan.
El-Erian melanjutkan, namun tantangan terhadap pertumbuhan akan tetap ada, dan Tiongkok harus menerapkan langkah-langkah restrukturisasi utang yang lebih besar. Selain itu, Beijing mungkin perlu memikirkan kembali perannya di pasar domestik.
“Pihak berwenang juga perlu mengatasi kecenderungan mereka yang besar terhadap sentralisasi dan, sebaliknya, memungkinkan munculnya mesin pertumbuhan sektor swasta yang kuat. Meski banyak pendapat lain yang Anda dengar, sepertinya China tidak akan menjadi perekonomian terbesar di dunia,” kata El-Erian.
Demikian pula, Bloomberg Economics mengatakan pada hari Selasa, bahwa China kemungkinan tidak akan selamanya mengambil posisi teratas. Bloomberg Economics memperkirakan produk domestik bruto akan melampaui AS pada pertengahan tahun 2040an, namun dengan “selisih yang kecil” sebelum akhirnya “tertinggal kembali.”
Para ekonom – yang sebelumnya memperkirakan China akan menyalip Amerika Serikat pada tahun 2030an – percaya bahwa pertumbuhan PDB akan melambat menjadi hanya 1% pada tahun 2050, yang direvisi turun dari prediksi sebelumnya sebesar 1,6%.
Sebelumnya, pada akhir Agustus 2023 lalu, Presiden China Xi Jinping mengatakan kepada kelompok BRICS bahwa ekonomi China tangguh dan fundamental untuk pertumbuhan jangka panjangnya tetap tidak berubah.
Mengutip Reuters, Xi yang pada saat itu berada di Afrika Selatan untuk pertemuan puncak Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS), membuat pernyataan tersebut dalam pernyataan yang disiapkan yang dibacakan oleh Menteri Perdagangan China Wang Wentao di sebuah forum bisnis.
“Perekonomian China memiliki ketahanan yang kuat, potensi yang luar biasa, dan vitalitas yang besar,” kata Xi melalui Wang.
Pemulihan di ekonomi terbesar kedua di dunia itu telah kehilangan tenaga karena kemerosotan sektor properti yang memburuk, belanja konsumen yang lemah dan jatuhnya pertumbuhan kredit. Kondisi ini menambah kasus bagi otoritas untuk merilis lebih banyak stimulus kebijakan.
Tetapi Xi mengatakan negaranya menikmati keuntungan ekonomi, termasuk “pasar berukuran super”, sistem industri yang lengkap, dan tenaga kerja berkaliber tinggi yang melimpah.
“Kapal raksasa perekonomian Tiongkok akan terus mengarungi angin, membelah gelombang, dan terus maju,” kata Xi.
Sumber : kontan