Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka menguat pada perdagangan Kamis (14/9/2023), setelah dirilisnya data inflasi Amerika Serikat (AS) yang lebih panas dari yang diperkirakan oleh pasar.
Per pukul 08:30 WIB, indeks Nikkei 225 Jepang melesat 0,87%, Hang Seng Hong Kong dan Straits Times Singapura menguat 0,52%, ASX 200 Australia bertambah 0,26%, serta KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,69%.
Sedangkan untuk indeks Shanghai Composite China terpantau turun tipis 0,02% pada perdagangan pagi hari ini.
Bursa Asia-Pasifik yang secara mayoritas menguat terjadi di tengah menguatnya mayoritas bursa saham AS, Wall Street pada penutupan perdagangan kemarin, meski inflasi AS kembali memanas.
Indeks Dow Jones ditutup melemah 0,2%. Namun untuk indeks S&P 500 dan Nasdaq Composite berakhir menguat. S&P 500 naik 0,12% dan Nasdaq menguat 0,29%.
Bursa wall street yang ditutup beragam dengan mayoritas menguat pasca rilis data inflasi yang semakin memanas menjadi satu fenomena yang di luar kebiasaan. Pasalnya, bursa biasanya langsung kompak merah saat inflasi di luar ekspektasi.
Pelaku pasar masih perlu memantau efek domino selanjutnya yang potensi terjadi di kemudian hari mengingat masih ada pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada pekan depan.
Sebelumnya kemarin malam waktu Indonesia, berdasarkan data dari Biro Statistik Ketenagakerjaan AS, inflasi konsumen (consumer price index) Negeri Paman Sam pada bulan lalu kembali naik menjadi 3,7% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 3,2% (yoy).
Inflasi tersebut adalah yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir dan lebih tinggi dari konsensus pasar yang proyeksi naik sebesar 3,6% (yoy). Bahkan, inflasi AS bulan lalu hampir dua kali lipat lebih tinggi dari target The Fed.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI AS pada bulan lalu juga naik menjadi 0,6%, dari sebelumnya pada Juli lalu sebesar 0,2%. CPI bulanan AS sesuai dengan prediksi pasar yang memperkirakan kenaikan menjadi 0,6%.
Adapun inflasi inti berhasil melandai sesuai ekspektasi ke 4,3% (yoy), dibandingkan periode bulan sebelumnya sebesar 4,7% (yoy).
Inflasi AS diperkirakan masih sulit turun ke depan karena lonjakan harga minyak. AS adalah konsumen terbesar minyak di dunia sehingga pergerakan harga minyak akan sangat berdampak kepada ekonomi AS.
Hingga akhir perdagangan Rabu kemarin, harga minyak mentah Brent ditutup menguat ke US$ 92,5 per barel. Sementara harga minyak mentah WTI Crude berada di US$ 88,89 per barel, semakin mendekati level psikologis US$ 90 per barel.
Kenaikan harga minyak mentah disinyalir akibat pernyataan International Energy Agency (IEA) yang pada awal minggu ini mengumumkan kekurangan pasokan minyak global untuk semester II-2023.
Dari sisi pasokan, OPEC+ memperkirakan masih akan cukup ketat, pengurangan akan terjadi sekitar 3 juta barel per hari. Data IEA juga mengungkapkan permintaan minyak pada Agustus 2023 mencapai 101,4 juta barel per hari, sedangkan pasokannya lebih rendah, hanya 100,8 juta barel per hari.
Masih membandelnya inflasi AS membuat prospek berakhirnya era suku bunga tinggi dipertaruhkan, karena The Fed berpotensi masih akan mempertahankan sikap hawkish-nya hingga inflasi menyentuh target yang ditetapkan di 2%.
Kendati begitu, pemikiran pelaku pasar juga sepertinya mulai berubah lebih forward looking dari yang sebelumnya seberapa besar kenaikan suku bunga menjadi seberapa lama bank sentral AS akan memberikan jeda.
Hal tersebut juga semakin didukung dengan data yang ditunjukan CME Fedwatch Tool yang mengukur peluang suku bunga akan ditahan pada level 5,25% – 5,50% sudah semakin dominan, yakni mencapai 97%.
Sumber : cnbcindonesia